Awal Yang Akan Berakhir - Pipie Dikemas 11/04/2003 oleh Editor Entah bagaimana dulu pertama kali aku mengenalnya. Berjalan cepat dan seperti biasanya. Entah sebiasa apa dan sebagaimna biasanya. Yang aku ingat kita begitu akrab, dekat, sahabat sejati mungkin. Oh' bukan. Bukan sahabat sejati. Ia tidak begitu suka. Terlalu melankolis katanya. Macam dari film atau sinetron mimpi-mimpi katanya juga. Ketika ia sedih aku juga dapat merasakan. Saat ia senang, aku juga senang. Ia gundah gulana aku juga dapat menangkap mengapa ia gundah. Aku ingat. Aku ingat beberapa saat setelah pertemuan kita. Dalam satu pembicaraan panjang. Ia pernah mengatakan padaku. Hmmm... ia pernah bilang "sepertinya kita pernah bertemu dan pernah berbincang seperti ini. Tapi kapan yah?". De ja Vu kataku. Ya' De ja Vu kataku lagi. Tentu aku katakan dalam hati. Yaa, karena waktu itu kita belum lama bertemu. Belum seakrab sekarang. Awal pertemuan yang sama sekali tidak terduga, apalagi direncanakan. Jodoh mungkin. Kata buku lho, bukan dari aku seutuhnya. Tapi, Nostradamus pernah meramal pertemuan kami nggak yah...? mungkin...?. Ah' Nostradamus. Tapi aku percaya. Bukan percaya Nostradamus. Aku percaya bahwa ada kuasa takdir didalamnya. Yang membuat aku bertemu dengan dia. Sehingga akupun percaya Nostradamus bagian dari takdir itu. Dan tidak salahpun kita membicarakan ini. Kita ...?!. Aku kan satu. Panjang, lebar. Entah sepanjang apa, entah seberapa lebar. Yang jelas, takdir juga yang membuat kami bisa berbincang, bertukar pikiran, berkata-kata. Bahkan kata-kata yang hanya dapat dilakukan oleh hati kami, jiwa kami. Yah itu karena kita satu. Kita...?!. Aku kan satu. Pernah aku ingin sekali bertemu dengannya. Rindu', tidak juga. Hanya ingin bertemu saja. Tapi tidak bisa. Entah mengapa tidak bisa aku bertemu dengannya. Dan itu bukan yang pertama kali, juga bukan yang terakhir. Pertemuan kami lebih sering tidak terduga daripada terduganya. pembicaran kami lebih sering tidak terduganya. Bukan karena tidak direncanakan. Dan karena itulah mungkin pembicaraan kami lebih bermakna dengan hati, dengan jiwa dibanding dengan indera. Ada pada satu waktu, kita bertemu dengan Angga. Oh' bukan kita. Tapi dia dan kebetulan saja aku ada didekatnya dan dia tidak tahu tentunya. Dia bertemu dengan Angga teman sekolahnya dulu yang kini kuliah disebuah Perguruan Tinggi swasta. 'Mau beli buku klasik...? ' kata Angga menawarkan. 'Buku apa' katanya. 'Satanic Bibble the Norway dari abad ke-19. Asli, masih pakai tulisan Gothic aksen inggris kuno' kata Angga lagi menjelaskan. 'JANGAN' kataku spontan. 'Oh ya boleh juga. Kapan bisa dilihat' katanya. Merekapun berpisah, dan saling menukar nomor telepon. Hubungi aku kata Angga sesaat sebelum berpisah. Ah' untunglah. Si Angga belum berubah. Atau memang begitu adanya. Buku sudah terjual katanya. 'maklum buku kuno, klasik jadi banyak yang minat, banyak yang cari' katanya lagi. Agak tenang hatiku sesaat. Entah karena buku itu atau yang lainnya. Ya' tidak lucu juga kita marahan karena dia membeli buku itu. Tokh dirak kamarnya ada begitu banyak macam buku. Dari buku Karakteristik sahabat-sahabat Nabi SAW, Tarjamahan Injil Barnabas sampai Culture Shocknya Samuel P Hatington. Dari buku Ubbermensch-nya Nietche, Gitanjalinya Rabinthranath Tagore, Bloranya Pram sampai Ihya Ummuluddinnya Al-Ghazali. Tapi buku yang ditawarkan Angga, buku itu mengingatkanku pada Satanic Bibble (ayat-ayat Setan) nya SAlman Rushdie yang kontroversial itu. "Kemana saja...? lama kita tak jumpa". Satu kata yang seingatku tak pernah ia ucapkan. Ya' seingatku tidak pernah dan memang tidak pernah. Pernah ia menuliskan satu puisi untuku. Ah ada-ada saja. Aku mendengarkannya. Aku mendengarnya membacakan kata-kata yang ia tulis. Kita tidak sendiri Tidak juga ganda Kita itu satu Hakekat dari dua Namun bukan satu dari dua Atau Dua menjadi satu Lebih dari itu Kita itu satu Tak terpisahkan Sampai akhirnya Satu raga Satu jiwa Dalam jiwa ada lainnya Sehingga kita dapat berujar 'Biarkan jiwa lainnya bicara' Namun tetap Ada didalam jiwa Keabadian akan jiwa Akan segalanya Hitam_putih akan warna segala Hitam_putih cinta dalam jiwa Dimasukkannya kembali. Terlalu melankolis katanya. Namun... sesaat dilihatnya kembali, tidak dibaca. Hanya dilihatnya. Tersenyum ia sesaat. Begitu juga aku. Dan ia pun kembali dalam giatnya. Selintas dalam benakku 'coba kulihat sekali lagi, tokh itu untukku'. Tapi, aku tak tahu, aku yang hitam atau yang putihnya. Semua telah memiliki awal, tentu tak nyaman bila akhirnya seperti ini.